Minggu, 17 November 2013

PENGEMBANGAN JIWA ENTREPRENEURSHIP BAGI ANAK: Kapan dan Bagaimana memulainya?


Berbagai sumber menyatakan bahwa kesuksesan seseorang lebih dipengaruhi dari karakter yang dimiliki dibandingkan kecerdasan intelektualnya. Mitshubisi Research Institute (2000) menyatakan bahwa keberhasilan seseorang 40% bergantung pada soft skills yang dimilikinya, 30% tergantung pada kemampuan networking dan 20% tergantung pada kecerdasannya, baru 10% diantaranya ditentukan dari uang yang dimilikinya. Selain itu, sebagian besar keberhasilan seseorang dalam mencari pekerjaan bukan dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual, melainkan kemampuan seseorang di dalam mengelola diri. Sebagian besar direktur SDM dari perusahaan besar di Indonesia, maupun perusahaan multinasional akan sepakat dengan pernyataan di atas. Oleh karena kesuksesan seseorang yang nyata-nyata dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengelola diri, maka sekolah diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tersebut, bukan hanya menghasilkan lulusan didik yang cerdas intelektual saja.

Pada dasarnya pendidikan dimulai semenjak janin mulai terbentuk di dalam rahim sang ibu. Orang tua adalah “primary educator”, pendidik pertama dan yang utama bagi anak-anaknya. Namun demikian, di dalam perkembangannya, pendidikan perlu dibantu oleh satu lembaga yang dapat secara intensif memberikan stimulasi yang terstruktur dalam usaha menguasai suatu kompetensi tertentu, sebagai modal di masa depannya. Lembaga tersebut kemudian dikenal dengan nama “sekolah”. Jika ditilik dari tujuannya, maka sekolah semestinya memiliki tujuan untuk baik mencerdaskan sisi intelektual, maupun karakter anak. Untuk itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan semestinya tidak hanya mengarahkan kurikulumnya pada tujuan kecerdasan intelektual, namun terlebih dari itu mengembangkan karakter anak didiknya.

Pada saat ini, masyarakat mulai menyadari pentingnya lembaga pendidikan semenjak usia dini. Bahkan dikenal dengan pendidikan di masa “golden age”, karena di dalam konsep perkembangannya, usia 2-5 tahun adalah usia ideal pembentukan “pribadi” anak, sebagai investasi psikologis masa depannya. Pendidian Anak Usia Dini, seharusnya lebih banyak menekankan pada aspek “karakter” dibandingkan aspek kecerdasan intelektualnya. Kurikulum yang dikembangkan selayaknya berkisar pada pendidikan karakter.

Melalui konsep pengembangan karakter yang disampaikan oleh Lickona (1991; 1997); Berkowitz (1995; 1998; 2004) dan Lee In-Jan (2001) teradapat beberapa hal yang dapat dipelajari di dalam usaha mewujudkan karakter. Hal pertama adalah bahwa pendidikan karakter harus terintegrasi di dalam suatu kurikulum. Di dalam usaha pengembangan karakter, tidak dapat hanya dilakukan melalui satu ranah saja, terutama ranah kognitif. Pengalaman program P4 merupakan satu hal yang sangat baik untuk dipelajari. Bahwa pengembangan karakter harus dilakukan secara terintegrasi di dalam kandungan kurikulum tertulis, hidden curriculum, serta kegiatan ko-kurikulum dan ekstrakurikuler. Artinya, karakter yang ingin dikembangkan harus terwujud di dalam kandungan setiap mata ajaran melalui tugas dan bahan kajian, juga terwujud di dalam norma serta aturan akademik. Selain itu, sekolah perlu mengembangkan kurikulum yang selama ini selalu dianggap tersier, yaitu kegiatan ko-kurikuler dan ekstra kurikuler.

Hal kedua yang dipelajari adalah bahwa pendidikan karakter tidak dapat terjadi dalam waktu yang singkat, dalam bentuk spot mata ajaran di awal, di tengah ataupun di akhir saja. Namun pendidikan karakter harus menyeluruh dan berkelanjutan. Selama kurikulum tersebut diterapkan, kandungan dan muatan pendidikan karakter akan juga tetap dilaksanakan. Pendidikan karakter yang hanya menekankan pada satu atau dua mata ajaran tidak akan dapat menjamin tercapainya karakter siswa yang diinginkan.

Ketiga adalah bahwa pendidikan karakter menuntut peran guru secara optimal. Tanpa adanya role model, karakter tidak akan dapat dikembangkan dengan baik. Peran model yang berkarakter, merupakan kunci utama di dalam pendidikan karakter. Di sekolah, role model siswa adalah guru. Oleh karena itu, di dalam proses pendidikan karakter, terlebih dahulu perlu dikembangkan guru-guru yang berkarakter. Selain sebagai role model, guru juga harus dapat menciptakan teachable moment bagi karakter yang akan dikembangkan, sehingga tercipta iklim yang kondusif untuk mengembangkan karakter.

Pada masa krisis global sebagaimana yang dihadapi manusia saat ini, diperlukan karakter yang kuat untuk bertahan di dalamnya. Salah satu karakter yang dipilih adalah jiwa entrepreuner (entrepreneurship). Mengapa karakter ini yang dipilih? Sebagaimana kita pahami bersama makna dari entrepreneurship sendiri menurut ahli pendidik entrepreneurship, Hindle and Anghern (1998) adalah jiwa yang memiliki motivasi tinggi, toleransi terhadap resiko yang cukup tinggi, selalu ingin berprestasi, pantang menyerah, mampu menciptakan peluang, kreatif, serta memiliki kepercayaan diri dan memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Karakter entrepreneurship tersebut sangat cocok sebagai modal untuk dapat sukses di era global seperti saat ini. Mengembangkan karakter entepreneurship, bukan berarti menciptakan pedagang atau wira usaha, namun terlebih dari itu, jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) ini dipandang sebagai satu ciri karakter yang memiliki kekuatan pribadi dalam menghadapi tantangan dunia. Seorang dengan karakter entrepreneurship ini, diharapkan mampu menjadi penggerak kemajuan bangsa.
 Dengan menggunakan prinsip pendidikan karakter di atas, sikap dan karakter entrepreneurship akan dapat dikembangkan dengan baik. Langkah yang dapat dilakukan untuk mengembangkan karakter ’entrepreneurship adalah sebagai berikut:1)      Menetapkan karakter ’entrepreunership’ sebagai satu visi lembaga pendidikan kita, dan melakukan persamaan persepsi tentang deskripsi operasional tersebut. 2)      Mensosialisasikan sikap dan nilai ’entrepreneurship’ kepada seluruh sivitas akademika sekolah, termasuk orang tua dan stakeholder3)      Menurukan visi ’entrepreneurship’ ke dalam praktik kehidupan sehari-hari di sekolah, melalui: (a) penetapan aturan berserta sanksi yang berkait dengan karakter entrepreneurship dan diterapkan pada setiap anggota sekolah kita; (b) mengembangkan poster, banner dan berbagai atribut yang dapat mengingatkan anggota sekolah akan karakter entrepreneurship; (c) mengembangkan aktivitas sekolah yang mengandung nilai ’entrepreneurship’, baik dalam aktivitas protokoler maupun kegiatan penunjang lainnya4)      Mengembangkan ’role model’ dari karakter entrepreneurship dimulai dari Kepala Sekolah dan Manajer Sekolah lain, Guru dan Pegawai administrasi. Role model harus selalu mempraktekkannya pada setiap kesempatan, sehingga dapat terlihat dan dimaknai oleh siswa.5)      Mendesain proses pembelajaran dan penugasan yang memiliki kandungan nilai dan karakter entrepreneurship. Setelah tugas dikumpulkan, disediakan sesi refleksi untuk menginternalisasikan proses yang telah terjadi.6)      Mengembangkan aktivitas yang melibatkan orang tua siswa dalam proses peningkatan nilai dan karakter entrepreneurship.  
Perlahan namun pasti, proses peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia pun akan terwujud, dimulai dari pendidikan yang paling dini. Tentu saja di akhir paper ini, masihlah perlu disampaikan bahwa kualitas generasi suatu bangsa, sangat bergantung pada keterpaduan 3 institusi, yaitu institusi keluarga, sekolah (pendidikan) dan masyarakat. Dengan demikian, optimisme ke arah Indonesia yang lebih aman, nyaman, damai dan sejahtera dapat terwujud, karena memiliki SDM yang handal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar