Berbagai
sumber menyatakan bahwa kesuksesan seseorang lebih dipengaruhi dari karakter
yang dimiliki dibandingkan kecerdasan intelektualnya. Mitshubisi Research
Institute (2000) menyatakan bahwa keberhasilan seseorang 40% bergantung pada
soft skills yang dimilikinya, 30% tergantung pada kemampuan networking dan 20%
tergantung pada kecerdasannya, baru 10% diantaranya ditentukan dari uang yang
dimilikinya. Selain itu, sebagian besar keberhasilan seseorang dalam mencari
pekerjaan bukan dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual, melainkan kemampuan
seseorang di dalam mengelola diri. Sebagian besar direktur SDM dari perusahaan
besar di Indonesia, maupun perusahaan multinasional akan sepakat dengan
pernyataan di atas. Oleh karena kesuksesan seseorang yang nyata-nyata
dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengelola diri, maka sekolah diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan tersebut, bukan hanya menghasilkan lulusan didik yang cerdas
intelektual saja.
Pada
dasarnya pendidikan dimulai semenjak janin mulai terbentuk di dalam rahim sang
ibu. Orang tua adalah “primary educator”, pendidik pertama dan
yang utama bagi anak-anaknya. Namun demikian, di dalam perkembangannya,
pendidikan perlu dibantu oleh satu lembaga yang dapat secara intensif
memberikan stimulasi yang terstruktur dalam usaha menguasai suatu kompetensi
tertentu, sebagai modal di masa depannya. Lembaga tersebut kemudian dikenal
dengan nama “sekolah”. Jika ditilik dari tujuannya, maka sekolah semestinya
memiliki tujuan untuk baik mencerdaskan sisi intelektual, maupun karakter anak.
Untuk itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan semestinya tidak hanya
mengarahkan kurikulumnya pada tujuan kecerdasan intelektual, namun terlebih
dari itu mengembangkan karakter anak didiknya.
Pada
saat ini, masyarakat mulai menyadari pentingnya lembaga pendidikan semenjak
usia dini. Bahkan dikenal dengan pendidikan di masa “golden age”,
karena di dalam konsep perkembangannya, usia 2-5 tahun adalah usia ideal
pembentukan “pribadi” anak, sebagai investasi psikologis masa depannya.
Pendidian Anak Usia Dini, seharusnya lebih banyak menekankan pada aspek
“karakter” dibandingkan aspek kecerdasan intelektualnya. Kurikulum yang
dikembangkan selayaknya berkisar pada pendidikan karakter.
Melalui
konsep pengembangan karakter yang disampaikan oleh Lickona (1991; 1997);
Berkowitz (1995; 1998; 2004) dan Lee In-Jan (2001) teradapat beberapa hal yang
dapat dipelajari di dalam usaha mewujudkan karakter. Hal pertama adalah bahwa pendidikan
karakter harus terintegrasi di dalam suatu kurikulum. Di dalam usaha
pengembangan karakter, tidak dapat hanya dilakukan melalui satu ranah saja,
terutama ranah kognitif. Pengalaman program P4 merupakan satu hal yang sangat
baik untuk dipelajari. Bahwa pengembangan karakter harus dilakukan secara
terintegrasi di dalam kandungan kurikulum tertulis, hidden curriculum,
serta kegiatan ko-kurikulum dan ekstrakurikuler. Artinya, karakter yang ingin
dikembangkan harus terwujud di dalam kandungan setiap mata ajaran melalui tugas
dan bahan kajian, juga terwujud di dalam norma serta aturan akademik. Selain
itu, sekolah perlu mengembangkan kurikulum yang selama ini selalu dianggap
tersier, yaitu kegiatan ko-kurikuler dan ekstra kurikuler.
Hal
kedua yang dipelajari adalah bahwa pendidikan karakter tidak dapat
terjadi dalam waktu yang singkat, dalam bentuk spot mata ajaran di
awal, di tengah ataupun di akhir saja. Namun pendidikan karakter harus
menyeluruh dan berkelanjutan. Selama kurikulum tersebut diterapkan, kandungan
dan muatan pendidikan karakter akan juga tetap dilaksanakan. Pendidikan
karakter yang hanya menekankan pada satu atau dua mata ajaran tidak akan dapat
menjamin tercapainya karakter siswa yang diinginkan.
Ketiga
adalah bahwa pendidikan karakter menuntut peran guru secara optimal. Tanpa
adanya role model, karakter tidak akan dapat dikembangkan dengan baik.
Peran model yang berkarakter, merupakan kunci utama di dalam pendidikan
karakter. Di sekolah, role model siswa adalah guru. Oleh karena
itu, di dalam proses pendidikan karakter, terlebih dahulu perlu dikembangkan
guru-guru yang berkarakter. Selain sebagai role model, guru juga harus dapat
menciptakan ’teachable moment’ bagi karakter yang akan
dikembangkan, sehingga tercipta iklim yang kondusif untuk mengembangkan
karakter.
Pada
masa krisis global sebagaimana yang dihadapi manusia saat ini, diperlukan
karakter yang kuat untuk bertahan di dalamnya. Salah satu karakter yang dipilih
adalah jiwa entrepreuner (entrepreneurship). Mengapa karakter ini yang dipilih?
Sebagaimana kita pahami bersama makna dari entrepreneurship sendiri menurut
ahli pendidik entrepreneurship, Hindle and Anghern (1998) adalah jiwa
yang memiliki motivasi tinggi, toleransi terhadap resiko yang cukup tinggi,
selalu ingin berprestasi, pantang menyerah, mampu menciptakan peluang, kreatif,
serta memiliki kepercayaan diri dan memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi.
Karakter entrepreneurship tersebut sangat cocok sebagai modal untuk dapat
sukses di era global seperti saat ini. Mengembangkan karakter entepreneurship,
bukan berarti menciptakan pedagang atau wira usaha, namun terlebih dari itu,
jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) ini dipandang sebagai satu ciri karakter
yang memiliki kekuatan pribadi dalam menghadapi tantangan dunia. Seorang dengan
karakter entrepreneurship ini, diharapkan mampu menjadi penggerak kemajuan
bangsa.
Dengan
menggunakan prinsip pendidikan karakter di atas, sikap dan karakter
entrepreneurship akan dapat dikembangkan dengan baik. Langkah yang dapat
dilakukan untuk mengembangkan karakter ’entrepreneurship adalah sebagai
berikut:1)
Menetapkan karakter
’entrepreunership’ sebagai satu visi lembaga pendidikan kita, dan
melakukan persamaan persepsi tentang deskripsi operasional
tersebut. 2)
Mensosialisasikan
sikap dan nilai ’entrepreneurship’
kepada seluruh sivitas akademika sekolah, termasuk orang tua dan stakeholder3) Menurukan visi
’entrepreneurship’ ke dalam praktik kehidupan sehari-hari di sekolah,
melalui: (a) penetapan aturan berserta sanksi yang berkait dengan
karakter entrepreneurship dan diterapkan pada setiap anggota sekolah kita; (b) mengembangkan
poster, banner dan berbagai atribut yang dapat mengingatkan anggota
sekolah akan karakter entrepreneurship; (c) mengembangkan aktivitas
sekolah yang mengandung nilai ’entrepreneurship’, baik dalam aktivitas
protokoler maupun kegiatan penunjang lainnya4) Mengembangkan ’role
model’ dari karakter entrepreneurship dimulai dari Kepala Sekolah dan
Manajer Sekolah lain, Guru dan Pegawai administrasi. Role model harus selalu
mempraktekkannya pada setiap kesempatan, sehingga dapat terlihat dan dimaknai
oleh siswa.5)
Mendesain
proses pembelajaran dan penugasan
yang memiliki kandungan nilai dan karakter entrepreneurship. Setelah tugas
dikumpulkan, disediakan sesi refleksi untuk menginternalisasikan proses yang
telah terjadi.6)
Mengembangkan
aktivitas yang melibatkan orang tua
siswa dalam proses peningkatan nilai dan karakter entrepreneurship.
Perlahan
namun pasti, proses peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia pun akan
terwujud, dimulai dari pendidikan yang paling dini. Tentu saja di akhir paper
ini, masihlah perlu disampaikan bahwa kualitas generasi suatu bangsa, sangat
bergantung pada keterpaduan 3 institusi, yaitu institusi keluarga, sekolah
(pendidikan) dan masyarakat. Dengan demikian, optimisme ke arah Indonesia yang
lebih aman, nyaman, damai dan sejahtera dapat terwujud, karena memiliki SDM
yang handal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar