Rabu, 02 Oktober 2013

IBU

Sebening tetesan embun pagi... 
Secerah sinarnya mentari... 
Bilaku tatap wajahmu oh ibu... 
Ada kehangatan didalam hatiku... 


Air wudhu' selalu membasahimu... 
Ayat suci selalu dikumandangkan... 
Suaramu penuh keluh dan kesah... 
Berdoa untuk putra putrinya... 

Oh ibuku... 
Engkaulah wanita... 
Yang ku cinta selama hidupku... 
Maafkan anakmu bila ada salah... 
Pengorbananmu tanpa balas jasa... 

Ya Allah ampuni dosanya... 
Sayangilah dia seperti menyayangiku... 
Berilah dia kebahagiaan... 
Di dunia juga diakhirat...
Kesiapan Indonesia dalam Pusaran Komunitas Ekonomi ASEAN 2015

Kurang dari 2 tahun mendatang, Indonesia dan negara negara ASEAN lainnya akan memasuki suatu tahap perubahan dalam hal integrasi ekonomi regional melalui Asean Economic Comunity (AEC) atau Komunitas Ekonomi ASEAN. Pembentukan AEC merupakan salah satu dari 3 gagasan yang teruang didalam ASEAN Community yang telah digagas sejak KTT Informal ASEAN tahun 1997 dan direncanakan untuk mulai diimplementasikan tahun 2015 mendatang. Tujuan dari digagasnya AEC ini adalah dalam rangka peningkatan daya saing kawasan di pasar global, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan standar hidup penduduk di negara-negara ASEAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang berpengaruh di kawasan ASEAN, dan AEC merupakan momentum Indonesia dalam mengembangkan perekonomiannya, namun pada kenyataannya banyak pihak yang merasa bahwa Indonesia belum siap untuk menghadapi keterbukaan pasar dalam AEC tersebut.
Dalam Cetak Biru Asean Economic Community tersebut memuat karakteristik sebuah komunitas ekonomi dalam 4 pilar AEC, yaitu 1. Single Market and Production Base ; 2. Competitive Economic Region; 3. Equitable Economic Development; serta 4. Full Integration into Global Economy yang inti dari keempat pilar tersebut sebagaimana yang tersebut dalam Bali Concord II tahun 2003 adalah perluasan integrasi ekonomi ke semua negara anggota ASEAN dan membangun ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal yang berbasiskan produksi dengan mendorong ASEAN menjadi lebih dinamis dan kompetitif dalam sektor barang, jasa, investasi, tenaga kerja ahli, dan modal.
Rencana Pelaksanaan Komunitas Ekonomi ASEAN ini, tidak hanya berbicara tentang hubungan ekonomi antarnegara yang lebih terbuka, karena pada dasarnya bukanlah negara yang punya hajat disini, tetapi masyarakat didalamnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi telah mebuat batas-batas negara menjadi kabur (borderless), melalui AEC tersebut semua individu akan memiliki kesempatan yang sama untuk meraih sesuatu, untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Walaupun begitu terbukanya kesempatan tersebut tentunya tidak sertamerta tanpa tantangan yang apabila kita tidak bersiap dari sekarang, kesempatan tersebut akan terbuang sia-sia atau bahkan malah menimbulkan kerugian.
Tidak perlu menunggu hingga tahun 2015, 2014 atau bulan depan untuk mulai menyadari proses globalisasi ini. Pemerintah dan Masyarakat lebih baik untuk tidak terlalu terlena dengan euforia pemilu 2014 mendatang dan perlu untuk segera bersiap dan bertindak agar tidak hanya menerima kerugian dalam pengimplementasian AEC mendatang. Terdapat beberapa poin yang kiranya bisa dilakukan baik pemerintah dan masyarakat untuk persiapan AEC tersebut, yaitu Pemaksimalan Upaya Sosialisasi; Pengembangan Kapasitas Sumber Daya Manusia; dan Penyelesaian Permasalahan Internal.
Pertama, Pemaksimalan Upaya Sosialisasi, Tidak dapat dipungkiri bahwa pengetahuan masyarakat Indonesia terkait hajatan besar AEC ini belum merata. Bila dibandingkan dengan Thailand, Indonesia, sebagai salah satu kekuatan ASEAN benar-benar masih jauh dibelakang Thailand untuk masalah sosialisasi. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi ditulisnya tulisan ini, yaitu ketika saya berkesempatan untuk melaksanakan magang selama sekitar 6 minggu di Thailand, atmosfir ASEAN dan AEC di Thailand sangatlah terasa. Pemerintah Thailand terlihat tak menganggap remeh pelaksanaan AEC, banyak sekali spanduk, umbul umbul dan papan-papan diberbagai fasilitas umum yang menginformasikan pelaksanaan AEC, media cetak dan televisi juga aktif mengabarkan berita ini melalui countdown yang dihitung mundur setiap harinya. Terkait pengedukasiannya, sosialisasi AEC juga dilakukan sejak dini dengan mengenalkan konsep ASEAN mulai dari taman kanak-kanak. Saya sendiri juga dibuat heran ketika beberapa kali bertemu penjual kaki lima dan penumpang lain di bus yang saya naiki selalu menanyakan tanggapan saya, sebagai warga negara Indonesia terkait pelaksanaan AEC.
Faktanya di Indonesia, beberapa pelaku ekonomi maupun akademisi pun bahkan masih banyak yang belum mengerti apakah ASEAN dan apa tujuannya. Maka dari itu, dalam waktu yang singkat seperti sekarang ini, sasaran sosialisasi yang krusial menurut saya adalah kepada pelaku ekonomi khususnya pengusaha kecil, kemudian mahasiswa dan pelajar yang akan memasuki masa kerja, kendati demikian pengenalan konsep ASEAN sejak dini juga perlu untuk diterapkan sesegera mungkin di Indonesia.
Kedua, Pengembangan Kapasitas Sumber Daya Manusia, Dengan kualitas SDM yang baik tentunya Indonesia bisa bersaing dengan tenaga kerja profesional asing lainnya. Pemerintah memang perlu membangun sarana dan prasarana dalam menunjang kegiatan ekonomi namun peningkatan kualitas SDM juga harus menjadi prioritas karena SDM tersebutlah yang nantinya akan mengelola jalannya perekonomian. Kemudian, penguasaan akan bahasa asing seperti bahasa Inggris, Arab dan Mandarin merupakan hal yang penting dalam komunikasi pada masyarakat internasional, kesulitan dalam memahami bahasa asing, terutama bahasa Inggris akan menyulitkan interaksi ekonomi antarnegra. Selain pengembangan skill dan bahasa, pengembangan networking akan memantapkan langkah masyarakat untuk mengenal dan beradaptasi dalam iklim yang kompetitif ini, pengembangan networking tersebut mungkin bisa dilakukan dengan mengadakan pertukaran pelajar ASEAN atau pertemuan pertemuan rutin antara seperti pengusaha kecil, investor dan pelaku ekonomi lainnya.
Ketiga, Penguatan Ekonomi Internal, Agar tidak tergerus aliran produk dari luar, pemerintah tentu perlu untuk mengembangankan dan memberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia, dengan memberikan informasi dan kemudahan untuk pengembangan produk mereka, seperti informasi terkait bagaimana memperoleh sertifikat halal atau pembelajaran untuk membuat label dan kemasan produk yang menarik. Poin yang penting adalah, pemerintah juga harus mempunyai kebijakan ekonomi yang dapat mendukung tenaga kerja dan pelaku, dunia usaha yang belum siap untuk menghadapi persaingan dalam AEC. Lebih jauh, Penguatan disini, bukan hanya pemberdayaan ekonomi lokal tetapi juga penyelesaian dan penuntasan peraturan –peraturan ekonomi. Pada dasarnya, bukan kapasitas saya dalam pemberian solusi secara detail terkait permasalahan ekonomi, namun dalam konteks AEC, banyak sekali pekerjaan yang harus di selesaikan pemerintah, seperti penyelesaian undang undang perburuhan, tenaga kerja, serta hal lain yang dalam perundang-undangannnya masih tumpang tindih. Jangan sampai nantinya Indonesia hanya bisa menguasai pasar buruh, sedangkan level profesional dan manajerialnya dikuasai oleh asing. Belum terlalu terlambat untuk memulai dari sekarang, apalagi dengan kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi, upaya upaya tersebut bisa dengan cepat, mudah dan murah untuk dilaksanakan.







Pada dasarnya, poin yang paling penting adalah bagaimana kita sebagai masyarakat Indonesia secara umum dalam menyikapi proses perubahan tersebut. 2015 memang bukanlah masih lama datangnya, tetapi belum terlambat untuk memulainya sekarang, saatnya kita mempunyai inisiatif dan kesadaran diri untuk maju. Masyarakat Indonesia harus mulai membangun karakter manusia yang selalu berkeinginan untuk maju dan meningkatkan kualitas diri. Kendati demikian, kita juga tidak boleh terlalu sibuk berfokus pada peningkatan diri sendiri dan terlalu individualistik dengan mengabaikan lingkungan disekitar kita, namun tetap merangsang dan memberdayakan lingkungan tersebut dengan saling membantu dan gotong royong. Oleh karena itu, dalam menyongsong AEC yang penuh peluang sekaligus tantangan tersebut, maka kita hanya memiliki dua pilihan, yaitu terlambat untuk menyadari, terlambat beraksi dan menjadi tertinggal atau peduli mulai kini, menggali potensi, dan siap untuk memanfaatkan serta menghadapi tantangan globalisasi.


Pergaulan Mahasiswa

Mahasiswa, The Agent of Change

Mahasiswa adalah sebutan untuk orang yang sedang menjalani pendidikan tinggi di sebuah universitas atau perguruan tinggi. Mahasiswa dikenal sebagai orang yang memiliki intelektualitas tinggi. Bagaimana tidak? Untuk menjadi seorang mahasiswa, sebelumnya kita harus mengikuti serangkaian tes seleksi masuk, apalagi jika perguruan tinggi yang kita inginkan berstatus sebagai Perguruan Tinggi Negeri atau yang biasa kita sebut PTN. Berdasarkan data Kemendikbud, pada tahun 2012 sebanyak 618.804 orang berlomba mengikuti tes Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) untuk memperebutkan 106.363 kursi di perguruan tinggi negeri. Jumlah tersebut ternyata meningkat 14% dari tahun sebelumnya. Dan peningkatan jumlah ini bukan tidak mungkin akan terus terjadi hingga tahun-tahun berikutnya.
Hal tersebut membuktikan betapa besar minat para pemuda Indonesia untuk menjadi seorang mahasiswa, yang kita kenal sebagai seorang yang memiliki intelektualitas dan tanggung jawab yang tinggi, serta sikap yang arif di dalam segala bentuk kegiatan, terutama tingkah lakunya. Lalu, jika kita kaitkan definisi mahasiswa dengan data Kemendikbud di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa para pemuda Indonesia sesungguhnya berpotensi  memiliki intelektualitas tinggi serta tingkah laku yang baik. Namun, jika kita kaitkan dengan fakta yang ada saat ini, benarkah demikian?
Fakta mengenai mahasiswa yang sering kita saksikan sekarang ternyata bertolak belakang dari definisi mahasiswa yang sesungguhnya. Mahasiswa yang seharusnya menjadi panutan, bukan hanya tontonan, sepertinya tidak dapat melakukan hal itu. Buktinya, hanya sedikit saja mahasiwa yang dapat menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Hal itu dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mengganggu aktivitas perkuliahan dari berbagai kendala.
Salah satu faktor yang sedang hangat diperbincangkan saat ini mengenai mahasiswa di Indonesia adalah pergaulan bebas. Mungkin kita tidak akan menyangka mahasiswa yang notabenenya memiliki kearifan intelektual tinggi dapat terjebak dalam fenomena pergaulan bebas yang dapat merusak masa depan bangsa. Walaupun mahasiswa dikenal sebagai orang yang memiliki intelektualitas tinggi, tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan dari mereka berada dalam rentang usia remaja.
Remaja adalah periode transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Banyak orang menyebut masa remaja sebagai masa mencari jati diri. Ya, karena di masa inilah seseorang mulai mencari tahu siapa sebenarnya dirinya. Di masa remaja segala bentuk keingintahuan, rasa penasaran, dan keinginan untuk mencoba hal-hal yang baru muncul dalam benak seseorang.
Masa remaja dapat dikatakan sebagai masa yang rentan. Di masa ini seseorang akan lebih mudah terpengaruh pikiran dan tingkah lakunya, terutama oleh faktor lingkungan. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan jika kehidupan seorang remaja selalu diiringi oleh hal-hal yang baik, kehidupan keluarga dan lingkungan sosial yang baik. Hal tersebut dapat menjadikannya sebagai pribadi yang baik untuk bekal menyambut masa dewasanya kelak. Namun, kenyataan di lapangan lebih banyak menunjukkan hal yang bertolak belakang. Tidak semua remaja dapat melalui masa mencari jati dirinya dengan baik. Bahkan kebanyakan remaja justru berbelok untuk mencoba hal-hal yang seharusnya ia hindari. Masa remaja yang seharusnya digunakan untuk berkarya dan mengukir prestasi justru dihabiskan dengan kegiatan yang tidak bermanfaat. Masa remaja yang seharusnya dapat membentuk karakter sejati seseorang sebagai manusia yang mulia, justru membuat perilaku dan akhlak seseorang menjadi buruk dan bahkan membuatnya lupa akan makna jati dirinya yang sesungguhnya.
Salah satu cara yang digunakan seorang remaja untuk menemukan jati dirinya adalah dengan bergaul. Pergaulan sendiri memiliki arti melakukan perilaku bergaul dan berinteraksi dalam lingkungan masyarakat. Pergaulan adalah faktor yang sangat mempengaruhi seseorang dalam membentuk karakternya. Mindsetdan pola hidup seseorang dapat dipengaruhi begitu saja oleh teman bergaulnya.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan pergaulan bebas? Mengapa pergaulan bebas kini menjadi fenomena yang sangat mengkhawatirkan di kalangan para remaja? Pengertian pergaulan bebas menurut para sosiolog adalah cara-cara yang dilakukan manusia sebagai makhluk sosial untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi dalam banyak hal tanpa ada sekat atau pembeda strata guna mencapai suatu tujuan. Tujuan yang dimaksud ialah terciptanya suatu kondisi interaksi yang bersinergi dan saling memahami atas hal-hal yang muncul dalam proses interaksi. Pergaulan bebas mengindikasikan tidak adanya penghalang yang disebabkan oleh strata sosial. Pergaulan bebas juga mengindikasikan adanya keleluasaan dalam bergaul yang berkaitan dengan persoalan interaksi seperti jarak atau kedekatan emosi antarmanusia dan tema-tema yang menjadi gagasan interaksi.
Pengertian pergaulan bebas memang identik dengan anak muda, dengan remaja. Persoalan pergaulan memiliki tafsiran makna yang dekat kaitannya dengan kaum remaja sebab kaum remaja cenderung banyak bergaul, membina relasi, pertemanan, bertanya banyak hal, mencari tahu berbagai hal dan aktivitas lainnya. Hal tersebut memungkinkan mereka melakukan pergaulan yang luas dengan siapapun. Pergaulan yang luas tersebut memungkinkan pula terjadinya pergaulan bebas yang tidak terkendali, yakni pergaulan yang menyebabkan kaum muda terjerumus pada hal-hal negatif.
Itulah sebabnya pergaulan bebas pada akhirnya diartikan sebagai pergaulan yang lepas kontrol dan tanpa norma. Hal tersebut disebabkan adanya proses pergaulan yang tidak mengindahkan segi norma dalam interaksi. Persoalan narkoba, kriminalitas, dan seks bebas pada akhirnya menyeruak dan menjadikan pergaulan bebas dipandang sebagai hal yang buruk.
Dan pemandangan yang kita saksikan saat ini memang berisi pergaulan bebas remaja yang mengkhawatirkan, termasuk di dalamnya para mahasiswa. Hedonisme, budaya pop, seks bebas, kekerasan, kriminalitas, narkoba, mungkin menjadi hal-hal yang erat kaitannya dengan pergaulan remaja saat ini.
Hedonisme merupakan salah satu hal yang menghiasi kehidupan mahasiswa masa kini. Hedonisme sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang artinya pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan plesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak, karena mereka beranggapan hidup ini hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. Ya, seperti itulah fenomena yang menghiasi kehidupan mahasiswa masa kini. Mereka hanya memikirkan hedone atau kesenangan. Tak peduli apakah kesenangan tersebut merusak moral dan masa depan mereka atau tidak, yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana menikmati hidup dengan kesenangan tak terhingga.
Budaya pop dan seks bebas selanjutnya menjadi fenomena yang muncul dari adanya paham hedonisme. Budaya pop (singkatan dari budaya populer) disebut juga budaya massa karena kontennya diproduksi secara massif untuk tujuan komersialisasi. Wujud budaya pop beraneka macam, misalnya: bahasa, teknologi, busana, musik, dan perilaku. Objek sasaran budaya ini adalah para pemuda. Budaya pop sendiri merupakan bentuk westernisasi, di mana orang-orang di Indonesia akan lebih mencintai budaya barat dibandingkan budayanya sendiri, walaupun budaya tersebut tidak sesuai dengan adat ketimuran yang ada di Indonesia. Kaum muda yang berada dalam rentang 15-35 tahun adalah target penyebaran budaya pop ini. Berdasarkan data BPS pada tahun 2006, negeri ini memiliki kurang lebih 80 juta pemuda atau 30% dari total keseluruhan penduduk. Sebagian besar dari total itu telah terhipnotis oleh unsur-unsur budaya pop, yang ditandai dengan menganggap apa yang digunakan orang banyak adalah sesuatu yang up-to-date, menyesuaikan diri dengan kebiasaan mayoritas orang, dan mendewakan penampilan trendi agar tak terlihat kuno.
Budaya pop erat kaitannya dengan paham hedonisme, karena kecenderungan seseorang untuk lebih mencintai budaya pop tentunya hanya bertujuan untuk menciptakan hedone dalam hidupnya. Dan ketika seorang remaja sudah terhipnotis unsur budaya barat, hal yang paling buruk yang akan turut pula masuk dalam kehidupan remaja Indonesia adalah seks bebas. Saat ini masalah seks bebas yang terjadi pada remaja di Indonesia sudah sampai pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Tidak ada lagi batasan antara laki-laki dan perempuan. Padahal sungguh aneh seharusnya yang kita rasakan ketika melihat kaum muda-mudi yang bukan muhrim saling berpelukan atau bergandengan tangan di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, karena hukum agama jelas sudah mengatur tentang hal ini.
Terlebih di kalangan mahasiswa, seks bebas sepertinya tidak lagi menjadi hal yang asing atau pun tabu. Kebanyakan mahasiswa yang sedang melakukan pendidikan di suatu perguruan tinggi, terutama di perguruan tinggi yang letaknya jauh dari tanah kelahirannya,  tinggal sendiri, jauh dari keluarganya. Mahasiswa yang jauh dari keluarga mereka tentunya memiliki kebebasan yang lebih dibandingkan saat mereka masih tinggal bersama orang tua. Tidak adanya pengawasan dan kesempatan yang terbuka lebar serta keimanan yang semakin merosot, menjadikan ia terjebak dalam hal-hal negatif yang dapat merusak moral dan masa depannya, salah satunya seks bebas.
Salah satu hal yang mendukung terjadinya seks bebas di kalangan mahasiswa dan mahasiswi di Indonesia adalah tempat kos yang bebas. Kos bebas yang dimaksudkan di sini adalah kos yang tidak diawasi atau ditunggui oleh pemiliknya. Mereka umumnya mempekerjakan orang untuk mengurusi kos, termasuk menjaga keamanan pintu gerbang. Tetapi tidak sedikit di antaranya yang menyerahkan urusan tersebut kepada penghuni kos. Kos bebas tersebut bukan termasuk kos campur, tetapi kos khusus putera dan kos khusus puteri. Kos bebas biasanya lebih banyak ditemukan berupa kos putera, tetapi jumlah kos bebas untuk puteri pun bisa dikatakan tidak sedikit dan semakin bertambah. Hampir di seluruh kawasan pemukiman mahasiswa terdapat kos semacam ini.
Ada lagi sebutan kos setengah bebas. Kos semacam ini masih ditunggui oleh pemiliknya, tetapi si pemilik seringkali tidak ambil peduli dengan urusan ataupun aktivitas penghuninya, sejauh tidak mengganggu ketertiban. Ada pula kos yang pemiliknya baru terlihat ketika sudah sore atau malam hari menjelang jam tamu berakhir. Interaksi antara si pemilik dan penghuni relatif minim, apalagi jika hunian tersebut ditempati lebih dari 20 orang. Tamu boleh saja masuk kamar, termasuk tamu lawan jenis, tanpa banyak dicurigai atau ditanyai oleh pihak pemilik. Untuk kos puteri misalnya, jika menerima tamu pria seringkali dibolehkan untuk menutup pintu kamar. Kos setengah bebas tersebar di seluruh kawasan pemukiman mahasiswa, tetapi jumlahnya masih lebih sedikit dibandingkan kos bebas.
Survei yang dilakukan pada tahun 2002 oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan (LSCK) terhadap 1.660 mahasiswa di Yogyakarta dengan tema virginitas di kalangan mahasiswa merupakan salah satu bukti bahwa seks bebas yang terjadi di Indonesia memang sudah menjadi masalah serius. Dari hasil survei tersebut, sebanyak 97,5% mahasiswa telah kehilangan virginitasnya akibat seks pra nikah. Hal yang teramat miris untuk dibayangkan. Kejadian seperti itu kemungkinan besar bukan hanya terjadi di Yogyakarta, tetapi juga di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Dan jika kita perhatikan, survei tersebut sudah dilakukan sepuluh tahun yang lalu, bagaimana dengan sekarang, saat dunia menjadi semakin canggih dan budaya barat semakin mudah mempengaruhi perilaku para pemuda Indonesia?
Masalah lain yang tak kalah penting dan erat kaitannya dengan pergaulan remaja adalah narkoba. Ya, para remaja Indonesia tidak pernah berhenti terhipnotis oleh barang yang sudah jelas diharamkan oleh agama maupun negara itu. Badan Narkotika Nasional mencatat pada tahun 2011 sebanyak 220 mahasiswa di Indonesia menjadi tersangka kasus narkoba. Miris memang. Mahasiswa, orang dengan intelektualitas tinggi, dapat terjerat kasus narkoba yang sudah pasti mereka sendiri mengetahui bahwa barang haram tersebut dapat merusak masa depan mereka.
Mahasiswa, the agent of change, agen perubahan. Perubahan harus menjadi tugas bagi kalangan mahasiswa untuk membentuk intelektualitasnya. Memulai perubahan tersebut harus didasari dengan kesadaran dan perlawanan yang tegas terhadap pergaulan bebas yang dapat merusak kehidupan, tidak hanya mahasiswa itu sendiri, tetapi juga Bangsa Indonesia.
“Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu mengubah nasib mereka sendiri.” (Q.S. al-Anfal. 8:53). Dengan begitu jelaslah sudah, perubahan dalam lingkungan mahasiswa akan terlaksana dan tercipta dalam kehidupan apabila ada kesadaran dari mahasiswa akan pergaulan bebas yang berada dalam lingkaran kehidupannya. Ingatlah, mahasiswa agen perubahan.








  
Mengapa Koperasi Di Indonesia Sulit Berkembang


A. PENDAHULUAN
     Mengapa koperasi di Indonesia sulit berkembang? Dalam perspektif Hukum Koperasi Indonesia, koperasi harus dipahami dalam 2 (dua) pengertian sekaligus; yaitu, pertama, sebagai sebuah sistem ekonomi dan, kedua, sebagai suatu badan usaha.
     Dua pengertian ini haruslah dipahami sebagai dwi-tunggal, yang dapat dibedakan namun tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan lainnya. Seringkali, untuk memberikan pemahaman mengenai koperasi, koperasi dibandingkan dengan bentuk-bentuk badan usaha lain misalnya Perseroan Terbatas (PT). Perbandingan sedemikian tentu saja menghasilkan deskripsi mengenai kelebihan dan kekurangan masing-masing sesuai karakteristiknya. Akan tetapi, sekadar membandingkan koperasi dengan badan usaha lainnya tidak akan pernah menghasilkan suatu pemahaman yang utuh dan menyeluruh tentang ruang-lingkupnya, terutama bila tidak terlebih dahulu dipahami dua wajah koperasi dalam Hukum Koperasi Indonesia.

Koperasi Sebagai Sistem Ekonomi
     Pernyataan Swasono (2007) bahwa hakikat Pasal 33 UUD 1945 adalah wujud nasionalisme ekonomi Indonesia mengandung pengertian berupa tekad kemerdekaan untuk mengganti asas perorangan (individualisme) menjadi asas kebersamaan dan kekeluargaan. Usaha bersama atas asas kekeluargaan adalah wujud kebersamaan, suatu mutualism and brotherhood; bukan individualisme, melainkan saling menghormati dan peduli sesama serta saling tolong-menolong sebagai sebuah kewajiban bersama. Pasal ini juga dipandang telah memposisikan rakyat Indonesia secara substansial untuk memperoleh sebesar-besar kemakmuran dari bumi, air dan kekayaan alam Indonesia.
     Bila memperhatikan hakikat Pasal 33 tersebut, sangat jelas tampak sebuah keterkaitan yang erat antara Pasal 33, khususnya ayat (1), dengan nilai utama koperasi, yaitu kerjasama. Koperasi sebagai sebuah gerakan ekonomi yang berbasis anggota, memiliki prinsip dasar mengedepankan kekuatan anggota untuk saling bekerjasama dalam memenuhi kesejahteraan bersama secara mandiri. Bila dilihat sejarah konstitusi, khususnya penjelasan UUD 1945 yang sebelum amandemen diakui keberadaannya, badan usaha yang sangat sesuai dengan asas kekeluargaan adalah koperasi. Pasal 33 merupakan sikap founding fathers yang menghendaki suatu transformasi badan usaha yang ada pada masa itu ke arah Koperasi Indonesia.

     Dalam pengertian ini, transformasi tersebut tidak berarti mengubah semua badan usaha menjadi badan usaha koperasi, namun sebenarnya menitikberatkan pada koperasi sebagai sebuah sistem ekonomi. Swasono (2007) menyatakan bahwa dengan sistem ekonomi koperasi, bentuk-bentuk perusahaan seperti PT, Firma, CV, BUMN, BUMD dan sebagainya dapat memiliki bangun koperasi, dengan spirit internal dan jejaring esksternal yang berdasarkan asas kebersamaan dan kekeluargaan sebagai sistem ekonomi nasional berdasarkan Triple Co, yaitu: co-ownership, co-determination dan co-responsibility. Dengan mewujudkan sistem ekonomi koperasi, maka koperasi sebagai sebuah badan usaha juga akan tumbuh dan berkembang sebagai entitas bisnis.
     Bila koperasi sebagai sistem ekonomi kembali dikaitkan dengan pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa di atas, sangat jelas bahwa sejauh ini upaya untuk menjalankan sistem ekonomi koperasi sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 telah gagal. Kegagalan ini dapat dilihat dari pranata-pratana yang dibangun dan dikembangkan oleh Pemerintah dalam menopang sistem ekonomi. Segala rezim, mulai dari Orde Baru sampai sekarang, sangat jelas keberpihakannya kepada pengembangan pranata-pranata yang menopang sistem ekonomi kapitalis liberal seperti perbankan, pasar modal dan berbagai institusi keuangan lainnya. Tentu saja, setiap rezim itu menyertakan dalam programnya pengembangan ekonomi kerakyatan. Akan tetapi, sayangnya, sejarah mencatat keberpihakan kepada sistem ekonomi kapitalis liberal terlalu sulit diingkari.

Koperasi Sebagai Badan Usaha
     Dasar hukum koperasi sebagai sebuah badan usaha terdapat dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (UU Koperasi) dan berbagai peraturan pelaksananya. Dalam UU ini, koperasi didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi yang melandaskan kegiatannya pada prinsip koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Terkait koperasi sebagai badan usaha, Hatta (1933) menegaskan rakyat sebagai produsen-produsen kecil harus bergabung membentuk koperasi (produksi). Dengan cara ini, teknik baru dalam bidang produksi lebih mungkin untuk dikuasai daripada dilakukan secara terpisah-pisah. Usaha bersama akan membangkitkan skala ekonomi dan meningkatkan produktivitas. Dengan kekuatan ini, koperasi akan mampu mempengaruhi pasar.
     Dari pendapat Hatta ini, dapat disimpulkan bahwa koperasi sebagai badan usaha sebenarnya tidak anti-pasar. Untuk dapat berkompetisi dalam pasar, koperasi sebagai badan usaha harus mampu membaca potensi anggota, mengkoordinasikan segala sumberdaya yang ada, dan memetakan peluang usaha untuk memproduksi barang atau jasa secara mandiri. Pilihan terhadap peluang usaha pertama-tama harus didasarkan pada kepentingan ekonomi bersama anggotanya. Misalnya, jika sekelompok peternak sapi ingin mendirikan koperasi, maka yang paling sesuai dengan kepentingan ekonomi mereka adalah usaha penjualan atau pengolahan susu sapi. Dalam konteks ini, koperasi harus tunduk pada kaidah, prinsip dan logika entitas bisnis, di mana prinsip manajemen yang profesional dan prinsip keuangan yang baik harus menjadi landasan utama.
     Bila dikaitkan kembali koperasi sebagai sebuah badan usaha dengan pertanyaan tadi,-Mengapa koperasi di Indonesia sulit berkembang?- sebagian besar koperasi dalam perjalanan sejarah tidak tumbuh secara profesional dan mandiri. Kegagalan negara menciptakan sistem ekonomi koperasi tentu turut mempengaruhi perkembangan koperasi sebagai badan usaha. Semangat kerjasama koperasi digilas oleh budaya pragmatisme yang tumbuh subur dalam 'ideologi' persaingan. Selain itu, keterlibatan pemerintah selama ini lebih mengintervensi bentuk kelembagaan koperasi daripada membantu menyelesaikan permasalahan utama koperasi, antara lain, akses pada modal dan pasar. Sepak-terjang Koperasi Unit Desa (KUD) selama Orde Baru membuktikan betapa koperasi lebih ditempatkan sebagai entitas politik daripada bisnis. Selain permasalahan eksternal ini, secara internal banyak pengurus koperasi dalam perkembangannya lebih tertarik mengurus usaha atau unit simpan-pinjam daripada menciptakan usaha produktif.

B. ISI
     Saat ini masalah yang masih di hadapi koperasi dan bisa menghambat perkembangan koperasi di Indonesia menjadi problematika. Pengelolaan koperasi yang kurang efektif, baik dari segi manajemen maupun keuangan menjadi salah satu kendala berkembangnya koperasi.
Berikut adalah beberapa kendala pokok yang dihadapi oleh koperasi di Indonesia :
•   Kurang berkembangnya koperasi juga berkaitan sekali dengan kondisi modal keuangan badan usaha tersebut.  Kendala modal itu bisa jadi karena kurang adanya dukungan modal yang kuat dan dalam atau bahkan sebaliknya terlalu tergantungnya modal dan sumber koperasi itu sendiri. Jadi untuk keluar dari masalah tersebut harus dilakukan melalui terobosan structural, maksudnya dilakukannya restrukturasi dalam penguasaan factor produksi, khususnya permodalan.
•   Banyak anggota, pengurus maupun pengelola koperasi kurang bisa mendukung jalannya koperasi. Dengan kondisi seperti ini maka koperasi berjalan dengan tidak profesional dalam artian tidak dijalankan sesuai dengan kaidah sebagimana usaha lainnya.
     Dari sisi keanggotaan, sering kali pendirian koperasi itu didasarkan pada dorongan yang dipaksakan oleh pemerintah. Akibatnya pendirian koperasi didasarkan bukan dari bawah melainkan dari atas. Pengurus yang dipilih dalam rapat anggota seringkali dipilih berdasarkan status sosial dalam masyarakat itu sendiri. Dengan demikian pengelolaan koperasi dijalankan dengan kurang adanya control yang ketat dari para anggotanya.
Pengelola ynag ditunjuk oleh pengurus seringkali diambil dari kalangan yang kurang profesional. Sering kali pengelola yang diambil bukan dari yang berpengalaman baik dari sisi akademis maupun penerapan dalam wirausaha.
•   Manajemen koperasi harus diarahkan pada orientasi strategik dan gerakan koperasi harus memiliki manusia-manusia yang mampu menghimpun dan memobilisasikan berbagai sumber daya yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang usaha. Oleh karena itu koperasi harus teliti dalam memilih pengurus maupun pengelola agar badan usaha yang didirikan akan berkembang dengan baik.
     Ketidak profesionalan manajemen koperasi banyak terjadi di koperasi koperasi yang anggota dan pengurusnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. contohnya banyak terjadi pada KUD yang nota bene di daerah terpencil. Banyak sekali KUD yang bangkrut karena manajemenya kurang profesional baik itu dalam sistem kelola usahanya, dari segi sumberdaya manusianya maupun finansialnya. Banyak terjadi KUD yang hanya menjadi tempat bagi pengurusnya yang korupsi akan dana bantuan dari pemerintah yang banyak mengucur.
Selain itu terdapat beberapa hal yang menyebabkan sulitnya perkembangan koperasi di Indonesia antara lain :

1. Image koperasi sebagai ekonomi kelas dua masih tertanam dalam benak orang – orang Indonesia sehingga, menjadi sedikit penghambat dalam pengembangan koperasi menjadi unit ekonomi yang lebih besar ,maju dan punya daya saing dengan perusahaan – perusahaan besar.
2. Perkembangan koperasi di Indonesia yang dimulai dari atas (bottom up) tetapi dari atas (top down),artinya koperasi berkembang di indonesia bukan dari kesadaran masyarakat, tetapi muncul dari dukungan pemerintah yang disosialisasikan ke bawah. Berbeda dengan yang di luar negeri, koperasi terbentuk karena adanya kesadaran masyarakat untuk saling membantu memenuhi kebutuhan dan mensejahterakan yang merupakan tujuan koperasi itu sendiri, sehingga pemerintah tinggal menjadi pendukung dan pelindung saja. Di Indonesia, pemerintah bekerja double selain mendukung juga harus mensosialisasikanya dulu ke bawah sehingga rakyat menjadi mengerti akan manfaat dan tujuan dari koperasi.
3. Tingkat partisipasi anggota koperasi masih rendah, ini disebabkan sosialisasi yang belum optimal. Masyarakat yang menjadi anggota hanya sebatas tahu koperasi itu hanya untuk melayani konsumen seperti biasa, baik untuk barang konsumsi atau pinjaman. Artinya masyarakat belum tahu esensi dari koperasi itu sendiri, baik dari sistem permodalan maupun sistem kepemilikanya. Mereka belum tahu betul bahwa dalam koperasi konsumen juga berarti pemilik, dan mereka berhak berpartisipasi menyumbang saran demi kemajuan koperasi miliknya serta berhak mengawasi kinerja pengurus. Keadaan seperti ini tentu sangat rentan terhadap penyelewengan dana oleh pengurus, karena tanpa partisipasi anggota tidak ada kontrol dari anggota nya sendiri terhadap pengurus.
4. Manajemen koperasi yang belum profesional, ini banyak terjadi di koperasi koperasi yang anggota dan pengurusnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
5. Pemerintah terlalu memanjakan koperasi, ini juga menjadi alasan kuat mengapa koperasi Indonesia tidak maju maju. Koperasi banyak dibantu pemerintah lewat dana dana segar tanpa ada pengawasan terhadap bantuan tersebut. Sifat bantuanya pun tidak wajib dikembalikan. Tentu saja ini menjadi bantuan yang tidak mendidik, koperasi menjadi ”manja” dan tidak mandiri hanya menunggu bantuan selanjutnya dari pemerintah. Selain merugikan pemerintah bantuan seperti ini pula akan menjadikan koperasi tidak bisa bersaing karena terus terusan menjadi benalu negara. Seharusnya pemerintah mengucurkan bantuan dengan sistem pengawasan nya yang baik, walaupun dananya bentuknya hibah yang tidak perlu dikembalikan. Dengan demikian akan membantu koperasi menjadi lebih profesional, mandiri dan mampu bersaing.
6. Kurangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya untuk memperbaiki diri, meningkatkan kesejahteraanya, atau mengembangkan diri secara mandiri. Padahal Kesadaran ini adalah pondasi utama bagi pendirian koperasi sebagai motivasi.
7. Kurangnya pengembangan kerjasama antar usaha koperasi.
Itulah penyebab-penyebab kenapa perkembangan koperasi di Indonesia belum maksimal. Tetapi analisis masalah tadi bukan lah yang utama, justru yang utama jika ingin koperasi maju adalah sebagai generasi penerus bangsa di masa depan tentunya kita harus berperan aktif dalam pengembangan koperasi di negeri ini. Salah satunya melalui keikutsertaan dalam koperasi, mempelajari dan mengetahui tentang perkoperasian secara lebih mendalam.
1.     Kelebihan koperasi di Indonesia
    Hal-hal yang menjadi kelebihan koperasi di Indonesia adalah:
a.  Bersifat terbuka dan sukarela.
b. Besarnya simpanan pokok dan simpanan wajib tidak memberatkan anggota.
c. Setiap anggota memiliki hak suara yang sama, bukan berdasarkan besarnya modal
d. Bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggota dan bukan sematamata mencari keuntungan.

2.     Kelemahan koperasi di Indonesia
    Hal-hal yang menjadi kelemahan koperasi di Indonesia adalah:
a. Koperasi sulit berkembang karena modal terbatas.
b. Kurang cakapnya pengurus dalam mengelola koperasi.
c. Pengurus kadang-kadang tidak jujur.
d. Kurangnya kerja sama antara pengurus, pengawas dan anggotanya.

FAKTOR FUNDAMENTAL EKSISTENSI DAN PERAN KOPERASI
     Berdasarkan pengamatan atas banyak koperasi serta menggali aspirasi berbagai pihak yang terkait dengan perkembangan koperasi, khususnya para partisipan koperasi sendiri, yaitu anggota dan pengurus, maka dapat disintesakan beberapa faktor fundamental yang menjadi dasar eksistensi dan peran koperasi dimasyarakat. Faktor-faktor berikut merupakan faktor pembeda antara koperasi yang tetap eksis dan berkembang dengan koperasi-koperasi yang telah tidak berfungsi bahkan telah tutup.
1. Koperasi akan eksis jika terdapat kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara mandiri.
Masyarakat yang sadar akan kebutuhannya untuk memperbaiki diri, meningkatkan kesejahteraanya, atau mengembangkan diri secara mandiri merupakan prasyarat bagi keberdaan koperasi. Kesadaran ini akan menjadi motivasi utama bagi pendirian koperasi ‘dari bawah’ atau secara ‘bottom-up’. Faktor kuncinya adalah kesadaran kolektif dan kemandirian. Dengan demikian masyarakat tersebut harus pula memahami kemampuan yang ada pada diri mereka sendiri sebagai ‘modal’ awal untuk mengembangkan diri. Faktor eksternal dapat diperlakukan sebagai penunjang atau komplemen bagi kemampuan sendiri tersebut.
2. Koperasi akan berkembang jika terdapat kebebasan (independensi) dan otonomi untuk berorganisasi.
Koperasi pada dasarnya merupakan suatu cita-cita yang diwujudkan dalam bentuk prinsip-prinsip dasar. Wujud praktisnya, termasuk struktur organisasinya, sangat ditentukan oleh karakteristik lokal dan anggotanya. Dengan demikian format organisasi tersebut akan mencari bentuk dalam suatu proses perkembangan sedemikian sehingga akhirnya akan diperoleh struktur organisasi, termasuk kegiatan yang akan dilakukannya, yang paling sesuai dengan kebutuhan anggota. Pengalaman pengembangan KUD dengan format yang seragam justru telah menimbulkan ketergantungan yang tinggi terhadap berbagai faktor eksternal, sedangkan KUD yang berhasil bertahan justru adalah KUD yang mampu secara kreatiif dan sesuai dengan kebutuhan anggota dan masyarakat mengembangkan organisasi dan kegiatannya.
3. Keberadaan koperasi akan ditentukan oleh proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi.
Faktor pembeda koperasi dengan lembaga usaha lain adalah bahwa dalam koperasi terdapat nilai-nilai dan prinsip yang tidak terdapat atau tidak dikembangkan secara sadar dalam organisasi lain. Oleh sebab itu pemahaman atas nilai-nilaI koperasi : keterbukaan, demokrasi, partisipasi, kemandirian, kerjasama, pendidikan, dan kepedulian pada masyarakat; seharusnya merupakan pilar utama dalam perkembangan suatu koperasi. Pada gilirannya kemudian nilai dan prinsip itulah yang akan menjadi faktor penentu keberhasilan koperasi. Sehingga salah satu faktor fundamental bagi keberadaan koperasi ternyata adalah jika nilai dan prinsip koperasi tersebut dapat dipahami dan diwujudkan dalam kegiatan organisasi. Disadari sepenuhnya bahwa pemahaman nilai-nilai tersebut tidak dapat terjadi dalam “semalam”, tetapi melalui suatu proses pengembangan yang berkesinambungan setahap demi setahap terutama dilakukan melalui pendidikan dan sosialisasi dengan tetap memberikan tempat bagi perkembangan aspirasi lokal yang spesifik menyangkut implementasi bahkan pengayaan (enrichment) dari nilai-nilai koperasi yang universal tersebut. Dengan demikian proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi akan menjadi salah satu faktor penentu keberadaan koperasi.
4. Koperasi akan semakin dirasakan peran dan manfaatnya bagi anggota dan masyarakat pada umumnya jika terdapat kesadaran dan kejelasan dalam hal keanggotaan koperasi.
Hal ini secara khusus mengacu pada pemahaman anggota dan masyarakat akan perbedaan hak dan kewajiban serta manfaat yang dapat diperoleh dengan menjadi anggota atau tidak menjadi anggota. Jika terdapat kejelasan atas keanggotaan koperasi dan manfaat yang akan diterima anggta yang tidak dapat diterima oleh non-anggota maka akan terdapat insentif untuk menjadi anggota koperasi. Pada gilirannya hal ini kemudian akan menumbuhkan kesadaran kolektif dan loyalitas anggota kepada organisasinya yang kemudian akan menjadi basis kekuatan koperasi itu sendiri.
5. Koperasi akan eksis jika mampu mengembangkan kegiatan usaha yang :
    a. luwes (flexible) sesuai dengan kepentingan anggota,
    b. berorientasi pada pemberian pelayanan bagi anggota,
    c. berkembang sejalan dengan perkembangan usaha anggota,
    d. biaya transaksi antara koperasi dan anggota mampu ditekan lebih kecil dari biaya   transaksi non-koperasi, dan
    e. mampu mengembangkan modal yang ada didalam kegiatan koperasi dan anggota sendiri.
     
      Kegiatan usaha yang dikembangkan koperasi pada prinsipnya adalah kegiatan yang berkait dengan kepentingan anggota. Salah satu indikator utama keberhasilan kegiatan usaha tersebut adalah jika usaha anggota berkembang sejalan dengan perkembangan usaha koperasi. Oleh sebab itu jenis usaha koperasi tidak dapat diseragamkan untuk setiap koperasi, sebagaimana tidak dapat diseragamkannya pandangan mengenai kondisi masyarakat yang menjadi anggota koperasi.
     Biaya transaksi yang ditimbulkan apabila anggota menggunakan koperasi dalam melakukan kegiatan usahanya juga perlu lebih kecil jika dibandingkan dengan tanpa koperasi. Hal ini akan menjadi penentu apakah keberadaan koperasi dan keanggotaan koperasi memang memberikan manfaat bisnis. Jika biaya transaksi tersebut memang dapat menjadi insentif bagi keanggotaan koperasi maka produktivitas modal koperasi akan lebih besar dibandingkan lembaga lain. Langkah selanjutnya yang perlu dikembangkan oleh suatu koperasi adalah agar hasil produktivitas tersebut dapat dipertahankan dalam sistem koperasi. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya lembaga koperasi adalah karena nilai lebih dari perputaran modal dalam “sistem” koperasi ternyata lebih banyak diterima oleh lembaga-lembaga diluar koperasi dan anggotanya. Hal ini memang merupakan salah satu catatan penting yang harus diperhatikan sebagai akibat dari sistem perbankan yang sentralistik seperti yang dianut saat ini.
     Jika koperasi memang telah menyadari pentingnya keterkaitan usaha antara usaha koperasi itu sendiri dengan usaha anggotanya, maka salah satu strategi dasar yang harus dikembangkan oleh koperasi adalah untuk mengembangan kegiatan usaha anggota dan koperasi dalam satu kesatuan pengelolaan. Hal ini akan berimplikasi pada berbagai indikator keberhasilan usaha koperasi, dimana faktor keberhasilan usaha anggota harus menjadi salah satu indikator utama.
6. Keberadaan koperasi akan sangat ditentukan oleh kesesuaian faktor-faktor tersebut dengan karakteristik masyarakat atau anggotanya.
     Jika dilihat dari kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini, maka dapat dihipotesakan bahwa koperasi dapat tumbuh, berkembang, dan sekaligus juga berperan dan bermanfaat bagi masyarakat yang tengah berkembang dari suatu tradisional dengan ikatan sosiologis yang kuat melalui hubungan emosional primer ke arah masyarakat yang lebih heterogen dan semakin terlibat dengan sistem pasar dan kapital dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, atau yang juga dikenal dengan komunitas ‘bazar-ekonomi’. Artinya koperasi tidak diharapkan dapat sangat berkembang pada masyarakat yang masih sangat tradisional, subsisten, dan relatif ‘tertutup’ dari dinamika sistem pasar; atau juga pada komunitas yang telah menajdi sangat individualis, dan berorientasi kapital. Dengan perkataan lain, koperasi tidak diharapkan dapat berkembang optimal disemua bentuk komunitas.
     Sebagai bagian dari identifikasi berbagai faktor fundamental tersebut maka perlu disadari bahwa pemenuhan faktor-faktor tersebut memang dapat bersifat ‘trade-off’ dengan pertimbangan kinerja jangka pendek suatu organisasi usaha konvensional. Proses yang dilakukan dalam pengembangan koperasi memang membutuhkan waktu yang lebih lama dengan berbagai faktor “non-bisnis” yang kuat pengaruhnya. Dengan demikian pemenuhan berbagai faktor fundamental tersebut dapat menyebabkan indikator kinerja lain, seperti pertumbuhan bisnis jangka pendek, harus dikorbankan demi untuk memperoleh kepentingan yang lebih mendasar dalam jangka panjang.
 “Seharusnya koperasi diberi kesempatan mengelola bisnis yang berhubungan dengan rakyat seperti sembako,pupuk,bibit, dan lainnya. Bukan sebaliknya dikuasai perorangan,” ujar Wawan di Kota Bandung, kemarin. Menurut dia, kegagalan koperasi tak lepas dari keseriusan pemerintah pusat mengembangkan koperasi, baik regulasi maupun pendanaan. “Kadang antara kebijakan pusat dan daerah tumpang tindih,termasuk kebijakan memberikan dana bagi koperasi.


Itu kurang baik bagi pertumbuhan koperasi,” jelasnya. Saat ini Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (KUKM) mulai menyusun master plan untuk menggenjot bisnis koperasi di Indonesia. Menurut Sekretaris Kementerian KUKM Guritno Kusumo,dalam 3-4 bulan ke depan master plan tersebut diharapkan selesai dan menghasilkan solusi bagi perkembangan koperasi di Indonesia.
“Solusinya bisa berupa pembekuan atau mengaktifkan kembali koperasi yang sudah mati.Tapi, kita akan lihat kasus per kasus berdasarkan masalah yang dihadapi koperasi bersangkutan. Jangan sampai koperasi yang punya utang besar dibekukan,”beber Guritno. Sampai 2011, koperasi di Indonesia mencapai 177.912 unit dengan jumlah terbanyak ada di Jabar,Jatim,dan Jateng.
Dari jumlah tersebut, 27% koperasi dinyatakan tidak aktif. Sementara untuk menyehatkan koperasi, Kementerian KUKM telah menyiapkan dana sebesar Rp700 miliar dari total anggaran Rp1 triliun pada tahun ini. 

Referensi :
·                     http://www.masbied.com/search/fungsi-koperasi-adalah-alat-perjuangan-ekonomi-untuk-mempertinggi-kesejahteraan-rakyat
·                     http://www.smecda.com/deputi7/file_makalah/PAS.SURUT.PERK.KOPERASI-Yog.htm
·                     http://id.wikipedia.org/wiki/Koperasi#cite_note-hendar-3








 ·                     http://www.crayonpedia.org/mw/KOPERASI_DALAM_PEREKONOMIAN_