Minggu, 17 November 2013

Adakah Kekuatan Transformatif Bank Syariah?


Bank syariah telah hadir cukup lama di negeri kita, memang agak terlambat, tapi seharusnya saat ini sudah mulai ‘mengalahkan’ dominasi bank konvensional. Tapi ternyata, kenyataan bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim, belum menjadi kekuatan, belum menjadi nilai tambah. logikanya, kelahiran bank syariah akan disambut sukacita oleh semua muslim, tapi realitas yang ada tidaklah demikian. Kenapa ya?
Kalau kita kembali merunut sejarah, akan menemukan bahwa Islam adalah kekuatan transformatif, kekuatan yang merubah seluruh tatanan masyarakat yang asalnya jahil/ bodoh, gelap, serba tidak teratur, menjadi masyarakat yang teratur, terang, sejahtera. Dan sebagai sebuah warisan Islam, ekonomi syariah juga memiliki kekuatan transformatif tersebut. Juga bank syariah, sebagai produk turunan ekonomi syariah, seharusnyalah memiliki sifat tranformatif tersebut.

Dimanakah kekuatan transformatif bank syariah?
Kalau saya jadi direktur sebuah bank syariah, mungkin kata sambutan pertama adalah ‘Jangan berkompetisi dengan bank konvensional!’ Loh kenapa?
Bank konvensional akan selalu berorientasi profit, sementara bank syariah, sebagai turunan ekonomi syariah, warisan Islam, tidaklah beriorientasi profit. Kalau mau berkompetisi dengan bank konvensional, bank syariah harus berorientasi profit, dan kalau berorientasi profit, please, jangan pakai kata syariah. Bakal kualat kata orang tua.
Bank syariah itu harus berorientasi pada kesejahteraan umat, bukan ‘hanya’ kesejahteraan pemilik modal. Kesejahteraan bank syariah seharusnya merupakan dampak dari kesejahteraan nasabah, kesejahteraan umat. Inilah kekuatan utama bank syariah, meningkatkan kesejahteraan umat, mentransformasi umat menjadi umat yang lebih sejahtera. Jadi, umat yang belum sejahteralah yang seharusnya menjadi target utama bank syariah, bukan umat yang sudah sejahtera, bukan umat yang memiliki banyak jaminan, atau umat yang menjanjikan profit besar.
Sayangnya, umat yang belum sejahtera, yang seharusnya menjadi pangsa utama bank syariah, sebagian besar belum kenal atau belum mau kenal sama bank syariah.

Rentenir masih lebih disukai.
Dalam beberapa waktu terakhir, beberapa teman di Baitul Maal DKM Masjid Al-Muhajirin, sebuah masjid kecil dekat rumah saya, ‘terpaksa’ harus menyelesaikan urusan hutang-piutang beberapa jamaah yang terlibat rentenir. Jalan itu ditempuh karena tidaklah mungkin memberdayakan jamaah yang terlibat rentenir. Setiap rupiah yang dihasilkan berkat pemberdayaan, pada akhirnya akan mengalir ke kocek rentenir yang setiap bulan membebankan bunga, atau denda kalau tak bisa membayar.
Pertanyaannya, kenapa masih banyak yang rela menjeratkan diri ke rentenir, padahal dalam satu dua kali naik angkot sudah ada lebih dari satu bank syariah? Dalam benak saya, dan mungkin kebanyakan orang lain, berurusan dengan rentenir lebih mudah dibanding dengan dengan bank syariah. Pintu bank syariah bahkan seolah-olah ‘tertutup’ ketika calon nasabah tidak mempunyai jaminan. Mau pilih gampang tapi haram atau susah tapi halal? Kalau saja pintu itu sedikit terbuka, pilihan susah tapi halal bisa jadi pilihan utama.

Ayo dong ubah kami!
Sesuai dengan apa yang ditulis di awal, inilah harapannya, ‘ayo dong ubah kami!’ Jangan biarkan rentenir yang ‘menolong’. Caranya? Ah tentu saja banyak ahli di dunia perbankan syariah yang mau mengubah mindset, mengubah orientasi dari profit pemilik modal ke tranformasi umat yang belum sejahtera, umat kebanyakan yang seharusnya menjadi target utama. Kekuatan Islam adalah kekuatan transformatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar