Bank syariah
telah hadir cukup lama di negeri kita, memang agak terlambat, tapi seharusnya
saat ini sudah mulai ‘mengalahkan’ dominasi bank konvensional. Tapi ternyata,
kenyataan bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim, belum
menjadi kekuatan, belum menjadi nilai tambah. logikanya, kelahiran bank syariah
akan disambut sukacita oleh semua muslim, tapi realitas yang ada tidaklah
demikian. Kenapa ya?
Kalau kita
kembali merunut sejarah, akan menemukan bahwa Islam adalah kekuatan
transformatif, kekuatan yang merubah seluruh tatanan masyarakat yang asalnya
jahil/ bodoh, gelap, serba tidak teratur, menjadi masyarakat yang teratur,
terang, sejahtera. Dan sebagai sebuah warisan Islam, ekonomi syariah juga
memiliki kekuatan transformatif tersebut. Juga bank syariah, sebagai produk
turunan ekonomi syariah, seharusnyalah memiliki sifat tranformatif tersebut.
Dimanakah
kekuatan transformatif bank syariah?
Kalau saya
jadi direktur sebuah bank syariah, mungkin kata sambutan pertama adalah ‘Jangan
berkompetisi dengan bank konvensional!’ Loh
kenapa?
Bank
konvensional akan selalu berorientasi profit, sementara bank syariah, sebagai
turunan ekonomi syariah, warisan Islam, tidaklah beriorientasi profit. Kalau
mau berkompetisi dengan bank konvensional, bank syariah harus berorientasi
profit, dan kalau berorientasi profit, please,
jangan pakai kata syariah. Bakal kualat kata orang tua.
Bank syariah
itu harus berorientasi pada kesejahteraan umat, bukan ‘hanya’ kesejahteraan
pemilik modal. Kesejahteraan bank syariah seharusnya merupakan dampak dari
kesejahteraan nasabah, kesejahteraan umat. Inilah kekuatan utama bank syariah,
meningkatkan kesejahteraan umat, mentransformasi umat menjadi umat yang lebih
sejahtera. Jadi, umat yang belum sejahteralah yang seharusnya menjadi target
utama bank syariah, bukan umat yang sudah sejahtera, bukan umat yang memiliki
banyak jaminan, atau umat yang menjanjikan profit besar.
Sayangnya,
umat yang belum sejahtera, yang seharusnya menjadi pangsa utama bank syariah,
sebagian besar belum kenal atau belum mau kenal sama bank syariah.
Rentenir
masih lebih disukai.
Dalam
beberapa waktu terakhir, beberapa teman di Baitul Maal DKM Masjid Al-Muhajirin,
sebuah masjid kecil dekat rumah saya, ‘terpaksa’ harus menyelesaikan urusan
hutang-piutang beberapa jamaah yang terlibat rentenir. Jalan itu ditempuh
karena tidaklah mungkin memberdayakan jamaah yang terlibat rentenir. Setiap
rupiah yang dihasilkan berkat pemberdayaan, pada akhirnya akan mengalir ke
kocek rentenir yang setiap bulan membebankan bunga, atau denda kalau tak bisa
membayar.
Pertanyaannya,
kenapa masih banyak yang rela menjeratkan diri ke rentenir, padahal dalam satu
dua kali naik angkot sudah ada lebih dari satu bank syariah? Dalam benak saya,
dan mungkin kebanyakan orang lain, berurusan dengan rentenir lebih mudah
dibanding dengan dengan bank syariah. Pintu bank syariah bahkan seolah-olah
‘tertutup’ ketika calon nasabah tidak mempunyai jaminan. Mau pilih gampang tapi
haram atau susah tapi halal? Kalau saja pintu itu sedikit terbuka, pilihan susah
tapi halal bisa jadi pilihan utama.
Ayo dong
ubah kami!
Sesuai
dengan apa yang ditulis di awal, inilah harapannya, ‘ayo dong ubah kami!’
Jangan biarkan rentenir yang ‘menolong’. Caranya? Ah tentu saja banyak ahli di
dunia perbankan syariah yang mau mengubah mindset, mengubah orientasi dari
profit pemilik modal ke tranformasi umat yang belum sejahtera, umat kebanyakan
yang seharusnya menjadi target utama. Kekuatan Islam adalah kekuatan
transformatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar